best friends 4ever in kampuz

best friends 4ever in kampuz
friendship

friendship....

friendship....

Minggu, Mei 09, 2010

MACAM2 CAPUNG MONSTER

CAPUNG MONSTER
SEMUA orang pasti tahu dan kenal serangga yang bernama capung, yang oleh orang lain disebut sebagai “naga terbang” (dragonfly). Berjalanlah ke tepi hutan, padang rumput, tepi rawa, tepi jalan, hutan sekunder, bahkan pekarangan rumah, atau di mana saja, hampir selalu ditemukan adanya capung. Tetapi dari segi habitat, umumnya pada tempat-tempat yang tidak jauh dari genangan air, karena di sanalah mereka melatakkan telur-telurnya, yang akan menetas jadi nimfa (nympha) setelah 6 – 40 hari, bergantung jenisnya, dan seterusnya jadi capung dewasa. Seekor capung, dalam satu tahap masa peteluran, si betina dapat meletakkan 50 – 400 butir telur, bahkan ada species yang dapat bertelur sampai 1.000 butir.

Di dunia ini, jumlah jenis capung yang tergabung dalam Ordo Odonata, lumayan banyak, diperkirakan sekitar 5.000 species, dan di Indonesia sendiri lebih dari 900 species. Dari rekaman fosil capung yang ditemukan, dari zaman karbon, misalnya dari marga Meganeura, diketahui bahwa di bumi ini pernah hidup capung purba yang rentang-sayapnya mencapai 120 cm. Di Indonesia, capung dapat ditemukan dengan ukuran yang cukup besar, yaitu panjangnya 10-12 cm, dari species Anax maclachlani, sedangkan jenis yang kecil panjang badannya hanya sekitar 1,5 cm, yaitu species Agriocnemis minima, Agriocnemis pygmaea.


Kelompok capung, di Indonesia, hanya ada beberapa yang sangat umum dikenali karakternya melalui familinya, yaitu capung berperut gembung (famili Gomphidae), karena di ujung perutnya, ada bagian yang membengkak atau menggembung. Berikutnya, capung bermata besar (famili Aeshnidae), karena memang ukuran matanya yang besar dan mencolok. Kemudian capung luncur (famili Libellulidae), yang selalu bergerak dan menyambar-nyambar. Lalu capung jarum (Famili Coenagrionidae), karena memang perutnya panjang kurus seperti jarum. Keempat famili inilah yang paling sering terlihat secara keseharian, tapi selain itu, di Indonesia masih terdapat capung-capung lain dari famili-famili Calopterygidae, Petaluridae, Macromiidae, Corduliidae, dan sebagainya.

Dalam pengelompokan capung, salah satu ciri capung yang dikenal secara umum ialah memiliki sayap dua pasang, atau empat lembar, yang bentuknya memanjang, tembus pandang dan menampakkan jala-jala urat yang banyak, yang sepintas seperti jaring (membranaceus). Mata majemuknya, yang besar, dapat dikatakan menutupi seluruh kepala. Antenanya sangat kecil, tetapi perutnya (abdomen) panjang dan tipis. Dari tipe mulutnya yang tampak, dapat diketahui bahwa capung memiliki model gigi pemotong dan pencabik.

Apabila diperhatikan tampilan capung, yang sering kita temukan, terdapat dua bentuk yang berbeda, yaitu capung besar dan capung jarum. Capung besar ditandai dengan ukuran yang memang lebih besar, tetapi sayap depan dengan sayap belakangnya tidak sama besar, dan pada saat hinggap di suatu tempat, keadaan sayap tetap terentang ke samping dalam posisi tegak lurus dengan badannya. Pada nimfa, yang hidup di dalam air, insangnya terdapat di dalam rongga rektum. Ini merupakan ciri umum untuk semua capung dalam Subordo Anisopetara.


Berbeda dengan capung besar, bentuk dan ukuran sayap pada capung jarum, ditandai oleh sayap depan dan sayap belakang yang sama besar, dan ketika hinggap, sayap-sayapnya tidak terentang, tetapi terlipat ke belakang sejajar perutnya. Pada nimfa, insangnya bukan di dalam rongga rektum, melainkan di ujung abdomen, dalam bentuk tiga lembar organ pernafasan, dengan letak persis seperti bilah-kipas baling-baling kapal. Ini merupakan ciri umum dari Subordo Zygoptera.

Capung adalah monster, bukan hanya pada tampilannya yang keren dengan wajah terkesan menakutkan, melainkan juga sejak masih sebagai nimfa yang hidup di dalam air, mereka sudah ganas mengganyang serangga air, larva, dan anak ikan. Setelah dewasa pun, capung akan tetap memangsa sesama serangga, terutama nyamuk, ngegat, agas dan sebagainya. Sebagai serangga yang ditakdirkan menjadi karnivorous sejati, maka dia memiliki mata yang berukuran besar dengan kemampuan jangkauan pandang ke semua arah, karena kepalanya dapat memutar 360°.

Gerakan capung juga istimewa, dengan sayap yang kaku, tipis dan ringan, capung dapat melakukan gerakan akrobatik yang memukau, dapat langsung berbelok-arah pada posisi kurang dari 90°. Kaki dan cakarnya kuat, mampu memegang mangsanya dengan baik, yang disambar ketika sedang terbang, dan langsung membawa mangsa tersebut ke mulutnya. Capung dapat makan sambil terbang.

Mengamati capung merupakan kegiatan yang menarik, karena perilakunya yang aktif, dan terutama warna-warninya yang cukup bervariasi. Dari ratusan jenis capung yang ada di Indonesia, memang ada beberapa yang paling umum dijumpai, terutama capung yang menyenangi rerumputan dan bertengger di tanaman-tanaman hias kolam di samping rumah. Ada beberapa species yang kemunculannya di suatu tempat bersifat musiman, dengan jumlah ratusan dan bahkan ribuan, beterbangan dan berzig-zag di udara, sambil mencari mangsa.

Ketika kecil, jika seorang anak terlalu sering pipis, bahkan pun ketika dia telah berusia 6-7 tahun, masih pipis di tempat tidur, umumnya tradisi mengajarkan agar segera ditangkap seekor capung besar (dalam bahasa Bugis: jurujuru lambatong), dan capung tersebut diupayakan menggigit pusar si anak. Tapi terlepas dari soal kebiasaan pipis tersebut, perhatikan saja sang lambatong itu dengan seksama. Mereka adalah monster, yang agresif, ganas, tetapi menarik dan harus dilestarikan.(ais)







JAMUR YANG TERABAIKAN
KEKAYAAN flora Indonesia memang sangat luar biasa, dan hal ini diakui oleh dunia. Masyarakat Indonesia, selain menyadari kekayaan ini, juga sangat efektif dalam melakukan eksploatasi. Apa saja yang dianggap bernilai, terutama dari sisi ekonomisnya, akan dimanfaatkan. Tanaman produksi, tanaman pangan, tanaman hias, tanaman obat dan sebagainya, telah sangat memasyarakat. Bahkan ada beberapa jenis yang boleh dikatakan sudah over-eksploatasi, dikuras secara berlebihan dari alam, sehingga populasinya menyusut dan terancam punah, seperti beberapa jenis anggrek. Memang seharusnya begitu, tapi kita sering abai dalam hal pelestariannya.
Dari berbagai kelompok tumbuhan Indonesia yang telah popular dimanfaatkan (umumnya tumbuhan berbiji), maka ada kelompok lain yang tingkat diversikiasinya juga sangat tinggi tetapi masih kurang tersentuh, yaitu kelompok pakis (Pteridophyta), lumut (Bryophyta), dan jamur (Saprophyta). Ada beberapa jenis memang telah dimanfaatkan, tetapi masih sangat terbatas, sementara jenis yang tersedia di alam melimpah dalam jumlah dan keragaman yang luar biasa. Tapi sejauh ini, seperti jamur, selain jenis-jenis yang dianggap beracun dan berbahaya, juga masih dikesampingkan sebagai potensi plasmanutfah yang penting. Kalau seseorang terserang penyakit kurap atau panu, jamur menjadi musuh bebuyutan.


Kelompok tumbuhan yang mewakili pakis, moss, fungi dan lichen, memang luar biasa banyak. Di dunia ini, pakis diperkirakan 13.000 jenis, moss/lumut sekitar 15.000 jenis, fungi/jamur diperkirakan 74.000 – 120.000 jenis, dan lichens sendiri sekitar 10.000 jenis.
Dari salah satu kelompok tersebut, yaitu jamur, yang walaupun beberapa jenis telah dimanfaatkan namun masih terbatas sebagai tanaman pangan dan obat-obatan, belum secara permanen menjadi fokus penelitian untuk pengembangan non-pangan dan non-medik. Beberapa yang sudah dibudidayakan, seperti jamur merang, memegang peran penting dalam perekonomian. Kalaupun kontribusinya dianggap kecil, itu karena skala pengusahaannya juga kecil. Padahal jamur jenis lainnya, punya potensi sama besarnya dengan tumbuhan lain, untuk dikembangkan dalam memenuhi berbagai kebutuhan, misalnya sebagai ornamental plants, atau garden accessories.


Penyebab utama kurang diperhatikannya tumbuhan jamur ini adalah karena sebagian besar belum diketahuinya secara mendalam mengenai seluk-beluk kehidupannya. Salah satu hambatan yang dihadapi pada kultivasi jamur ialah siklus hidupnya yang pendek, tetapi tentunya melalui berbagai penelitian, antara lain penelitian genetis, bukan tidak mungkin umur jamur dapat diperpanjang.
Karakteristik lain yang menjadi ciri jamur, ialah sebagai tumbuhan yang tidak memiliki zat hijau daun (klorofil), sehingga menyulitkan dalam proses pengembangbiakan melalui cara yang umum. Tapi apabila dikaji, sebenarnya ini bukan hal yang sukar untuk diatasi, karena meskipun tidak memiliki klorofil, tidak berarti jamur antimatahari. Beberapa jenis jamur dapat bertahan hidup di bawah sinar matahari, walaupun hanya sampai pada batasan tertentu. Kemudian perkembangbiakannya yang menggunakan spora, membutuhkan perlakuan yang spesifik karena sangat terkait dengan tempat tumbuh dan inang pemicu pertumbuhan.


Selain itu, karakteristik jamur juga adalah posisinya dalam ekosistem sebagai tumbuhan pengurai. Jamur dalam memenuhi kebutuhan hara, hanya membutuhkan zat-zat hancuran tumbuhan atau hewan, tidak dapat tumbuh langsung pada media seperti tanah.
Keindahan bentuk dan warna pada jamur tidak kalah dengan tumbuhan lain, dan secara prinsip jamur mudah tumbuh asal diketahui kondisi mikro yang dibutuhkan. Itu sebabnya jamur ada di mana-mana, dengan berbagai ragam penampilan. Beberapa jenis memang perlu dikelola secara hati-hati karena sifatnya yang beracun, tetapi jauh lebih banyak yang tidak beracun. Bentuk-bentuk tampilan dan pola warna pada jamur sangat menarik, dan hampir semua gen warna dapat ditemukan pada kelompok jamur.


Keterkaitan jamur dengan adanya tumbuhan “inang” memang perlu menjadi perhatian, sebab ini menjadi prasyarat utama dalam budidaya jamur. Sekam padi untuk jamur merang, misalnya tidaklah dapat diberlakukan untuk semua jenis jamur. Beberapa jamur, tidak dapat dipisahkan dari “batang phon tua dan busuk”, atau “kotoran binatang”, tapi semua itu hanya alternasi. Untuk kepentingan asesori, batang pohon tua dapat dijadikan “meja pajang” yang indah dan unik, dan di atasnya bertengger berjenis-jenis jamur yang warna-warni. Menarik dan unik. Jadi, kenapa kita tidak segera memulainya? (ais)





















Kamis, April 16, 2009
PUKAU WARNA CAPUNG
MEMANG sudah merupakan anugerah Tuhan, capung adalah salah satu bangsa serangga yang memiliki keelokan warna-warni yang beragam dan memukau, selain kupu-kupu dan kepik. Keragaman warna ini bukan hanya pada capung besar, tetapi juga pada capung jarum. Dan kita berharap, mudah-mudahan keindahan warna-warni yang melengkapi khazanah alam flauna nusantara ini tidak menimbulkan bencana bagi kelestarian hidup capung itu sendiri, seperti halnya yang dialami oleh berbagai jenis kupu-kupu yang saat ini menghadapi ancaman eksploatasi yang serius.
Berikut ini ditampilkan foto-foto capung yang diambil dari pekarangan di samping rumah, seperti ini:


BUKAN KAWIN KONTRAK
BAGAIMANA mahluk hidup mengembangbiakkan dirinya, adalah hal yang umum dibicarakan, tetapi sampai hari ini masih sebagian besar merupakan misteri. Model yang dikenali ialah mereka melakukan perkawinan, yaitu hubungan reproduktif antara jantan dan betina, baik pada tumbuhan maupun hewan. Alat reproduksi pada setiap mahluk berbeda, meskipun proses pembuahan berjalan menurut prinsip-prinsip yang sama pada setiap mahluk. Di sini, sel sperma jantan bertemu dengan sel ovum pada betina, selanjutnya terbentuk bakal anak atau bakal buah.


Pada tumbuhan, proses perkawinan atau pembuahan biasanya tidak teramati secara jelas, karena umumnya yang dapat dilihat adalah hasil berupa telah terjadinya pembuahan, kecuali jika prose situ sendiri bersifat artifisial, dalam arti ada campur tangan manusia, seperti penyerbukan atau kawin-silang. Tetapi pada hewan, proses itu dapat diamati secara langsung, semacam proses mating, yang memperlihatkan gerakan dan reaksi-reaksi tertentu pada individu yang sedang kawin.


Beberapa species hewan juga agak sukar diamati, karena waktu atau tempat berlangsungnya proses kawin itu tidak umum, misalnya di tengah malam, di dalam lubang-lubang, atau berlangsungnya sangat cepat. Mungkin kelompok yang paling mudah diamati adalah serangga (insects dan arachnids), karena selain ada di mana-mana, juga sebagian besar lebih terbuka dan dapat berlangsung sepanjang waktu, bergantung jenisnya.


Kawin adalah proses biologis yang mutlak bagi setiap mahluk hidup, untuk dapat mempertahankan kelanjutan hidup jenisnya. Sebagian mahluk hidup memiliki intensitas kawin yang tinggi, sebagian lagi intensitasnya jarang atau rendah. Jenis-jenis yang tinggi intensitas kawinnya, secara biologis dan ekologis adalah jenis-jenis yang mendapatkan tekanan tinggi, misalnya karena predasi, sehingga populasinya mudah terancam habis atau punah. Untuk tetap mempertahankan keberadaan jenisnya, terhindar dari kepunahan, mereka harus melakukan aktivitas reproduksi yang tinggi, dalam arti aktivitas kawin yang tinggi atau turunan (anak-anak atau buahnya) yang dihasilkan dalam jumlah besar. Beberapa jenis serangga, yang selalu merasa terancam oleh predator, yang menjadi sumber makanan dalam rantai makanan, akan beradaptasi untuk menjadi jenis yang memiliki kemampuan reproduksi tinggi.


Ketersediaan sumber makanan juga sangat berpengaruh pada pola reproduksi. Jenis-jenis hewan misalnya memiliki naluri untuk mengatur batas populasi jenisnya agar seimbang dengan batas daya dukung relung habitat yang mereka huni. Populasi jenis yang terlalu besar, yang tidak diimbangi dengan ketersediaan ruang dan sumber makanan yang cukup, akan mengarahkan jenis tersebut ke kemerosotan jumlah atau kepunahan. Tetapi ledakan sebuah populasi, tidak semata-mata disebabkan oleh tingginya reproduksi, melainkan dapat juga disebabkan oleh rendahnya komponen pengontrol seperti pemangsa, yang biasanya terjadi karena kerusakan keseimbangan ekologis.


Jadi, perkawinan pada setiap mahluk hidup, merupakan aktivitas biologis yang mutlak, dan mereka juga pada umumnya memiliki kemampuan untuk mengatur proses dan hasil dari perkawinan itu. Tidak seperti manusia, meskipun memiliki pengetahuan tentang daya dukung lingkungan, namun ternyata ber-KB juga gagal di mana-mana. Dan pada hewan atau tumbuhan, tidak dikenal adanya “kawin kotrak”. (ais)
Diposkan oleh "AISFAMILY", di 22:03 0 komentar
Label: FAUNA
Senin, Maret 16, 2009
PENCINTA BATU
SEBAGAIMANA diketahui tidak ada satu pun relung (niche) dalam ekosistem yang tidak termanfaatkan oleh satu atau beberapa jenis kehidupan, satwa atau tumbuhan. Bahkan penelitian menunjukkan, di lava gunung berapi pun, yang merupakan kondisi yang sangat ekstrem, dapat ditemukan kehidupan. Di kutub yang dingin membeku, yang merupakan kebalikan dari lava dan gurun pasir, juga dipenuhi oleh kehidupan. Demikian juga di dasar laut dalam, palung dan lubuk yang gelap gulita, yang jutaan tahun tak tersentuh cahaya matahari, ternyata ditemukan adanya mahluk hidup dengan perikehidupan yang kompleks. Di sini, adaptasi merupakan kunci keberhasilan setiap mahluk hidup untuk menghuni sebuah relung tempat mereka harus bertahan.


Di dalam biosfer, banyak kondisi habitat yang oleh manusia dinilai sangat ekstrem, seperti gurun pasir, daerah kutub, zona alpine, dan laut dalam. Namun demikian, tipe-tipe habitat seperti itu, memiliki struktur dan komponen pendukung kehidupan yang sama lengkapnya dengan habitat lainnya. Mungkin perbedaan hanya pada masalah jumlah ragam kehidupan yang menghuninya, atau karena rendahnya tingkat interaksi antara manusia dengan habitat yang ekstrem itu.


Dalam skala kecil, tipe-tipe habitat yang ekstrem itu dapat ditemukan sebagai relung pada setiap tipe ekosistem, misalnya ekosistem daerah aliran sungai, ditemukan pada tumpukan bebatuan, hamparan lumpur (mudflats), dan tebing-tebing yang terus-menerus tergerus oleh air. Sepintas, pada relung seperti itu, sangat sukar ditemukan adanya kehidupan, karena tingkat ketergangguannya yang besar atau karena ketersediaan produsen yang rendah.


Jika kita berjalan-jalan di tepi sungai, terutama sungai yang berbatu-batu, kita dapat melihat sepintas bahwa komponen abiotik seperti batu-batu itu hampir tidak memiliki peran dan fungsi di dalam bangun ekosistem, khsususnya dalam bentuk kemanfaatan bagi komponen biotik. Tapi kenyataannya tidak demikian, karena di sela-sela, di bawah, dan di permukaan batu-batu itu, ada cukup banyak mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya.


Sebagai komponen abiotik, memang batu itu bukan sumber produsen, yang menyediakan makanan bagi hewan. Tetapi batu-batu itu tidak kecil perannya sebagai media dalam tumbuhnya beberapa jamur dan ganggang, yang kemudian memancing berbagai jazad renik (microorganism), yang menjadi bagian paling mendasar dalam sebuah ekosistem. Keberadaan jamur, ganggang, dan jazad renik menjadi sumber makanan bagi beberapa jenis serangga, dan serangga akan menjadi sumber makanan bagi jenis satwa yang lebih besar. Batu-batu itu pada akhirnya memiliki peran sentral dalam rantai makanan, yaitu sebagai media antara, dan karena itu fungsinya menjadi sangat penting.


Keberadaan batu juga menjadi penting dikaitkan dengan perlunya para serangga dan lainnya memiliki tempat berlindung, tempat beristirahat dan sebagian menjadikannya tempat untuk bertelur. Batu pada tebing sungai, memiliki kemampuan untuk membangun kelembaban, serta menahan berbagai seresah hutan yang hanyut, yang kemudian mengalami dekomposisi, dan menjadi sumber makanan langsung atau sebagai media tumbuh. Kondisi ini menjadikan batu sebagai relung yang lengkap, menurut ukuran serangga yang menghuninya, terutama terkait dengan tingkat kebutuhan dan keamanannya.


Melalui adaptasi sesuai dengan perkembangan lingkungan, batu menjadi alat pembangun warna samaran (mimicry) bagi serangga-serangga dan hewan lainnya. Karena itu, warna hewan-hewan yang menghuni bebatuan itu sangat serasi dengan warna permukaan batu-batuan, dan menjadi model penyamaran yang efektif. Umumnya serangga-serangga berwarna coklat, coklat-kehitaman, berbintik-bintik, serta kebiruan kabur. Ini sangat bermanfaat bagi serangga-serangga itu untuk menghindarkan diri dari pemangsa. Jika tidak benar-benar diperhatikan, cukup sukar untuk mengetahui keberadaan mereka di antara batu-batu itu.




Jenis-jenis serangga yang dapat ditemukan menghuni relung berupa tumpukan bebatuan sungai, umumnya berupa beberapa jenis kepik, lalat, belalang, capung, laba-laba, dan nyamuk; kemudian beberapa jenis dari Ordo Hymenoptera, yang lebih merupakan serangga tamu di bebatuan. Juga dapat ditemukan beberapa jenis kupu-kupu, tetapi juga sebagai serangga tamu, yang datang hanya untuk menghisap garam-garaman. Dari kekerabatan lain, dapat ditemukan luwing atau kaki-seribu, dan sebagai konsumen paling dominan adalah katak, tikus, burung dan ular.


Pada beberapa batuan yang kebetulan memperoleh kelembaban yang tinggi, misalnya karena ternaungi oleh pohon, tampak sangat subur ditumbuhi oleh berbagai lumut, dan pakis. Keberadaan lumut, dan terutama pakis yang sudah merupakan tumbuhan tingkat tinggi, membentuk ekosistem bebatuan yang lebih permanen, dan melengkapkan kehadiran produsen dan konsumen ke dalam sebuah simbiose yang serasi. Karena peranan produsen dalam bentuk ganggang, beberapa jenis dekomposer, dan mikroorganisme lain, maka di tempat itu akan terbangun sebuah pola ekologis yang kompleks. Jaring-jaring makanan akan terbentuk dan berjalan sesuai siklus yang berlaku untuk relung tersebut.




Jadi, kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana setiap mahluk menyesuaikan diri agar dapat bertahan pada tipe habitat, khususnya menghuni relung, yang dianggap paling sesuai baginya. Tidak ada satu pun relung di bumi ini yang tidak memiliki daya tarik, termasuk di tumpukan bebatuan tebing sungai. Di sana, banyak hewan yang benar-benar pencinta batu. (ais)
CAPUNG MONSTER
SEMUA orang pasti tahu dan kenal serangga yang bernama capung, yang oleh orang lain disebut sebagai “naga terbang” (dragonfly). Berjalanlah ke tepi hutan, padang rumput, tepi rawa, tepi jalan, hutan sekunder, bahkan pekarangan rumah, atau di mana saja, hampir selalu ditemukan adanya capung. Tetapi dari segi habitat, umumnya pada tempat-tempat yang tidak jauh dari genangan air, karena di sanalah mereka melatakkan telur-telurnya, yang akan menetas jadi nimfa (nympha) setelah 6 – 40 hari, bergantung jenisnya, dan seterusnya jadi capung dewasa. Seekor capung, dalam satu tahap masa peteluran, si betina dapat meletakkan 50 – 400 butir telur, bahkan ada species yang dapat bertelur sampai 1.000 butir.

Di dunia ini, jumlah jenis capung yang tergabung dalam Ordo Odonata, lumayan banyak, diperkirakan sekitar 5.000 species, dan di Indonesia sendiri lebih dari 900 species. Dari rekaman fosil capung yang ditemukan, dari zaman karbon, misalnya dari marga Meganeura, diketahui bahwa di bumi ini pernah hidup capung purba yang rentang-sayapnya mencapai 120 cm. Di Indonesia, capung dapat ditemukan dengan ukuran yang cukup besar, yaitu panjangnya 10-12 cm, dari species Anax maclachlani, sedangkan jenis yang kecil panjang badannya hanya sekitar 1,5 cm, yaitu species Agriocnemis minima, Agriocnemis pygmaea.


Kelompok capung, di Indonesia, hanya ada beberapa yang sangat umum dikenali karakternya melalui familinya, yaitu capung berperut gembung (famili Gomphidae), karena di ujung perutnya, ada bagian yang membengkak atau menggembung. Berikutnya, capung bermata besar (famili Aeshnidae), karena memang ukuran matanya yang besar dan mencolok. Kemudian capung luncur (famili Libellulidae), yang selalu bergerak dan menyambar-nyambar. Lalu capung jarum (Famili Coenagrionidae), karena memang perutnya panjang kurus seperti jarum. Keempat famili inilah yang paling sering terlihat secara keseharian, tapi selain itu, di Indonesia masih terdapat capung-capung lain dari famili-famili Calopterygidae, Petaluridae, Macromiidae, Corduliidae, dan sebagainya.

Dalam pengelompokan capung, salah satu ciri capung yang dikenal secara umum ialah memiliki sayap dua pasang, atau empat lembar, yang bentuknya memanjang, tembus pandang dan menampakkan jala-jala urat yang banyak, yang sepintas seperti jaring (membranaceus). Mata majemuknya, yang besar, dapat dikatakan menutupi seluruh kepala. Antenanya sangat kecil, tetapi perutnya (abdomen) panjang dan tipis. Dari tipe mulutnya yang tampak, dapat diketahui bahwa capung memiliki model gigi pemotong dan pencabik.

Apabila diperhatikan tampilan capung, yang sering kita temukan, terdapat dua bentuk yang berbeda, yaitu capung besar dan capung jarum. Capung besar ditandai dengan ukuran yang memang lebih besar, tetapi sayap depan dengan sayap belakangnya tidak sama besar, dan pada saat hinggap di suatu tempat, keadaan sayap tetap terentang ke samping dalam posisi tegak lurus dengan badannya. Pada nimfa, yang hidup di dalam air, insangnya terdapat di dalam rongga rektum. Ini merupakan ciri umum untuk semua capung dalam Subordo Anisopetara.


Berbeda dengan capung besar, bentuk dan ukuran sayap pada capung jarum, ditandai oleh sayap depan dan sayap belakang yang sama besar, dan ketika hinggap, sayap-sayapnya tidak terentang, tetapi terlipat ke belakang sejajar perutnya. Pada nimfa, insangnya bukan di dalam rongga rektum, melainkan di ujung abdomen, dalam bentuk tiga lembar organ pernafasan, dengan letak persis seperti bilah-kipas baling-baling kapal. Ini merupakan ciri umum dari Subordo Zygoptera.

Capung adalah monster, bukan hanya pada tampilannya yang keren dengan wajah terkesan menakutkan, melainkan juga sejak masih sebagai nimfa yang hidup di dalam air, mereka sudah ganas mengganyang serangga air, larva, dan anak ikan. Setelah dewasa pun, capung akan tetap memangsa sesama serangga, terutama nyamuk, ngegat, agas dan sebagainya. Sebagai serangga yang ditakdirkan menjadi karnivorous sejati, maka dia memiliki mata yang berukuran besar dengan kemampuan jangkauan pandang ke semua arah, karena kepalanya dapat memutar 360°.

Gerakan capung juga istimewa, dengan sayap yang kaku, tipis dan ringan, capung dapat melakukan gerakan akrobatik yang memukau, dapat langsung berbelok-arah pada posisi kurang dari 90°. Kaki dan cakarnya kuat, mampu memegang mangsanya dengan baik, yang disambar ketika sedang terbang, dan langsung membawa mangsa tersebut ke mulutnya. Capung dapat makan sambil terbang.

Mengamati capung merupakan kegiatan yang menarik, karena perilakunya yang aktif, dan terutama warna-warninya yang cukup bervariasi. Dari ratusan jenis capung yang ada di Indonesia, memang ada beberapa yang paling umum dijumpai, terutama capung yang menyenangi rerumputan dan bertengger di tanaman-tanaman hias kolam di samping rumah. Ada beberapa species yang kemunculannya di suatu tempat bersifat musiman, dengan jumlah ratusan dan bahkan ribuan, beterbangan dan berzig-zag di udara, sambil mencari mangsa.

Ketika kecil, jika seorang anak terlalu sering pipis, bahkan pun ketika dia telah berusia 6-7 tahun, masih pipis di tempat tidur, umumnya tradisi mengajarkan agar segera ditangkap seekor capung besar (dalam bahasa Bugis: jurujuru lambatong), dan capung tersebut diupayakan menggigit pusar si anak. Tapi terlepas dari soal kebiasaan pipis tersebut, perhatikan saja sang lambatong itu dengan seksama. Mereka adalah monster, yang agresif, ganas, tetapi menarik dan harus dilestarikan.(ais)






PENCINTA BATU
SEBAGAIMANA diketahui tidak ada satu pun relung (niche) dalam ekosistem yang tidak termanfaatkan oleh satu atau beberapa jenis kehidupan, satwa atau tumbuhan. Bahkan penelitian menunjukkan, di lava gunung berapi pun, yang merupakan kondisi yang sangat ekstrem, dapat ditemukan kehidupan. Di kutub yang dingin membeku, yang merupakan kebalikan dari lava dan gurun pasir, juga dipenuhi oleh kehidupan. Demikian juga di dasar laut dalam, palung dan lubuk yang gelap gulita, yang jutaan tahun tak tersentuh cahaya matahari, ternyata ditemukan adanya mahluk hidup dengan perikehidupan yang kompleks. Di sini, adaptasi merupakan kunci keberhasilan setiap mahluk hidup untuk menghuni sebuah relung tempat mereka harus bertahan.


Di dalam biosfer, banyak kondisi habitat yang oleh manusia dinilai sangat ekstrem, seperti gurun pasir, daerah kutub, zona alpine, dan laut dalam. Namun demikian, tipe-tipe habitat seperti itu, memiliki struktur dan komponen pendukung kehidupan yang sama lengkapnya dengan habitat lainnya. Mungkin perbedaan hanya pada masalah jumlah ragam kehidupan yang menghuninya, atau karena rendahnya tingkat interaksi antara manusia dengan habitat yang ekstrem itu.


Dalam skala kecil, tipe-tipe habitat yang ekstrem itu dapat ditemukan sebagai relung pada setiap tipe ekosistem, misalnya ekosistem daerah aliran sungai, ditemukan pada tumpukan bebatuan, hamparan lumpur (mudflats), dan tebing-tebing yang terus-menerus tergerus oleh air. Sepintas, pada relung seperti itu, sangat sukar ditemukan adanya kehidupan, karena tingkat ketergangguannya yang besar atau karena ketersediaan produsen yang rendah.


Jika kita berjalan-jalan di tepi sungai, terutama sungai yang berbatu-batu, kita dapat melihat sepintas bahwa komponen abiotik seperti batu-batu itu hampir tidak memiliki peran dan fungsi di dalam bangun ekosistem, khsususnya dalam bentuk kemanfaatan bagi komponen biotik. Tapi kenyataannya tidak demikian, karena di sela-sela, di bawah, dan di permukaan batu-batu itu, ada cukup banyak mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya.


Sebagai komponen abiotik, memang batu itu bukan sumber produsen, yang menyediakan makanan bagi hewan. Tetapi batu-batu itu tidak kecil perannya sebagai media dalam tumbuhnya beberapa jamur dan ganggang, yang kemudian memancing berbagai jazad renik (microorganism), yang menjadi bagian paling mendasar dalam sebuah ekosistem. Keberadaan jamur, ganggang, dan jazad renik menjadi sumber makanan bagi beberapa jenis serangga, dan serangga akan menjadi sumber makanan bagi jenis satwa yang lebih besar. Batu-batu itu pada akhirnya memiliki peran sentral dalam rantai makanan, yaitu sebagai media antara, dan karena itu fungsinya menjadi sangat penting.


Keberadaan batu juga menjadi penting dikaitkan dengan perlunya para serangga dan lainnya memiliki tempat berlindung, tempat beristirahat dan sebagian menjadikannya tempat untuk bertelur. Batu pada tebing sungai, memiliki kemampuan untuk membangun kelembaban, serta menahan berbagai seresah hutan yang hanyut, yang kemudian mengalami dekomposisi, dan menjadi sumber makanan langsung atau sebagai media tumbuh. Kondisi ini menjadikan batu sebagai relung yang lengkap, menurut ukuran serangga yang menghuninya, terutama terkait dengan tingkat kebutuhan dan keamanannya.


Melalui adaptasi sesuai dengan perkembangan lingkungan, batu menjadi alat pembangun warna samaran (mimicry) bagi serangga-serangga dan hewan lainnya. Karena itu, warna hewan-hewan yang menghuni bebatuan itu sangat serasi dengan warna permukaan batu-batuan, dan menjadi model penyamaran yang efektif. Umumnya serangga-serangga berwarna coklat, coklat-kehitaman, berbintik-bintik, serta kebiruan kabur. Ini sangat bermanfaat bagi serangga-serangga itu untuk menghindarkan diri dari pemangsa. Jika tidak benar-benar diperhatikan, cukup sukar untuk mengetahui keberadaan mereka di antara batu-batu itu.




Jenis-jenis serangga yang dapat ditemukan menghuni relung berupa tumpukan bebatuan sungai, umumnya berupa beberapa jenis kepik, lalat, belalang, capung, laba-laba, dan nyamuk; kemudian beberapa jenis dari Ordo Hymenoptera, yang lebih merupakan serangga tamu di bebatuan. Juga dapat ditemukan beberapa jenis kupu-kupu, tetapi juga sebagai serangga tamu, yang datang hanya untuk menghisap garam-garaman. Dari kekerabatan lain, dapat ditemukan luwing atau kaki-seribu, dan sebagai konsumen paling dominan adalah katak, tikus, burung dan ular.


Pada beberapa batuan yang kebetulan memperoleh kelembaban yang tinggi, misalnya karena ternaungi oleh pohon, tampak sangat subur ditumbuhi oleh berbagai lumut, dan pakis. Keberadaan lumut, dan terutama pakis yang sudah merupakan tumbuhan tingkat tinggi, membentuk ekosistem bebatuan yang lebih permanen, dan melengkapkan kehadiran produsen dan konsumen ke dalam sebuah simbiose yang serasi. Karena peranan produsen dalam bentuk ganggang, beberapa jenis dekomposer, dan mikroorganisme lain, maka di tempat itu akan terbangun sebuah pola ekologis yang kompleks. Jaring-jaring makanan akan terbentuk dan berjalan sesuai siklus yang berlaku untuk relung tersebut.




Jadi, kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana setiap mahluk menyesuaikan diri agar dapat bertahan pada tipe habitat, khususnya menghuni relung, yang dianggap paling sesuai baginya. Tidak ada satu pun relung di bumi ini yang tidak memiliki daya tarik, termasuk di tumpukan bebatuan tebing sungai. Di sana, banyak hewan yang benar-benar pencinta batu. (ais)










CAGAR ALAM
SALAH SATU bentuk kawasan konservasi yang sangat dikenal ialah cagar alam (nature sanctuary), yang memiliki fungsi kawasan perlindungan terhadap seluruh komponen ekosistem, baik flora, fauna, maupun habitatnya, dan semua proses dibiarkan berlangsung secara alamiah. Dengan demikian, sebuah cagar alam sifatnya lebih tertutup untuk campur tangan manusia, karena kawasan tersebut harus dibiarkan sesuai dengan aslinya. Campur tangan manusia hanya dimungkinkan apabila terjadi suatu proses, baik alamiah maupun karena perbuatan manusia, yang dapat mengakibatkan kawasan tersebut punah. Proses alamiah dapat berupa kebakaran, badai, gempa bumi atau lainnya, yang secara cepat dapat memotong garis evolusi seluruh komponen pendukung ekosistem. Proses ancaman yang sifatnya skala kecil, harus diabaikan, karena pada prinsipnya setiap ekosistem memiliki daya-lenting (resiliences) untuk memulihkan dirinya jika terjadi ancaman atau gangguan yang masih dalam batas daya dukung.
Tujuan cagar alam sebenarnya adalah untuk memantapkan informasi proses evolusi dalam sebuah ekosistem, dan oleh karena itu, penetapan setiap cagar alam sebaiknya mewakili formasi atau tipe ekosistem tertentu: terumbu, mangrove, lamun, hutan dataran rendah, hutan keranggas, savanna – padang rumput, gurun, rawa dan danau, sungai, payau, batu kapur dan gamping, gua, submontane dan alpine, dan sebagainya. Karena itu, di sebuah negara yang memiliki komitmen terhadap konservasi, akan memiliki sangat banyak kawasan cagar alam. Banyaknya cagar alam ditentukan berdasarkan banyaknya jenis formasi dan tipe ekosistem yang ada dan perlu diperlindungi.
Cagar alam merupakan sebuah sistem perlindungan yang bersifat konprehensif, karena benar-benar “menolak” adanya keterlibatan orang dalam pengelolaannya. Walaupun misalnya taman nasional dirancang untuk mencakup semua model (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, dan lainnya secara sekaligus), tetapi taman nasional sangat rentan terhadap intervensi dari luar. Filosofi dasar sebuah cagar alam, ialah apabila kita ingin mlindungi seekor ikan karang, maka yang pertama yang harus diperlindungi adalah airnya, kemudian terumbunya sebagai pendukung aktivitasnya, yang paling tidak akan mencakup tempat mencari makan (feeding grounds), berkembangbiak (breeding grounds), dan tempat mengasuh anak-anaknya (spawning grounds). Kerusakan dan ketercemaran sebuah formasi dan tipe ekosistem bukan hanya dalam bentuk eksploatasi fisik atau adanya unsur-unsur asing yang bersifat fisik dari luar, yang masuk dan berasimilasi dengan sistem, melainkan semua bentuk intervensi. Biasanya, dengan alasan-alasan untuk memantas-mantaskan, agar terasa layak, dalam pengelolaan suatu kawasan seringkali diberi unsure-unsur masukan atau tambahan. Di beberapa lokasi, sebuah gua yang berstatus cagar alam, karena sering dikunjungi orang, maka pada gua tersebut ditempatkan alat penerang, dan di genangan lumpur dalam gua dipasangi jembatan papan.
Di Indonesia, formasi dan tipe habitat yang ada sangat beragam, dan beberapa di antaranya terlanjur rusak dan bahkan punah sebelum dapat diselamatkan. Dengan demikian, banyak sekali informasi terkait dengan evolusi, biologi, dan ekologi menjadi lenyap pula. Hal ini merupakan kerugian besar, dan sebuah sistem ekologi yang telah berada pada titik kritis terendah menurut daya-lentingnya, tidak mungkin kembali seperti semula. Apabila semua keragaman formasi dan tipe ekosistem ingin diselamatkan, maka Indonesia membutuhkan sangat banyak kawasan cagar. Sejauh ini, dengan cara yang selektif, beberapa formasi dan tipe sudah ditetapkan sebagai cagar alam, terutama yang sifatnya sangat penting dan menonjol. Namun demikian, masih sangat banyak formasi dan tipe ekosistem yang harus diperhatikan, dan paling tidak harus ditetapkan keterwakilan masing-masing formasi dan tipe, pada setiap wilayah biogeografis.
Sampai dengan tahun 2008, di Indonesia telah ditetapkan sebanyak 237 lokasi cagar alam, baik daratan maupun perairan, dengan luas total 4.730.704,04 hektar.


PENGUASA BUMI
KALAU kita menyimak informasi bahwa serangga (insects dan arachnids) saat ini merupakan kelompok hewan yang terbanyak jenisnya di bumi, mencapai 950.000 species atau lebih, maka itu berarti serangga benar-benar adalah mahluk yang menguasai bumi ini. Serangga, seperti juga kelompok satwa lainnya, memiliki peran yang penting dan spesifik dalam sistem ekologi bumi. Kemampuan serangga luar biasa, terutama di dalam menghuni semua relung habitat, baik di daratan maupun di perairan. Bahkan serangga, mampu juga membangun habitat pada tubuh mahluk lain, yang sekaligus menjadi inang atau produsen.


Indonesia dengan posisi yang berada di daerah tropik, yang sebagian besar wilayahnya juga masih tertutup hutan, savanna, semak-belukar, danau, rawa dan air payau, merupakan gudang serangga. Belum terinventarisasi secara detil, tetapi diperkirakan jumlah species serangga di Indonesia sekitar 100 – 300 ribu species.


Peranan serangga bagi lingkungan sudah pasti, seperti sebuah mesin yang bergerak untuk mendorong berfungsinya alat lain secara maksimal. Jutaan lebah dan kerabatnya, akan bergerak dari pagi sampai sore untuk melakukan penyerbukan terhadap tumbuhan di hutan. Ribuan jenis lainnya memiliki peran menghancurkan sampah hutan menjadi humus, yang menyediakan unsur hara bagi tumbuhan. Buah busuk yang jatuh di lantai hutan, dikerumuni serangga, dan di sana ada satwa lain yang mengintai serangga: katak, kadal, dan lainnya, berpesta pora.


Serangga memiliki keistimewaan, karena sebagian besar mampu melakukan perpindahan tempat pada jarak-jarak tertentu. Selain itu, serangga juga memiliki karakteristik dengan siklus hidup yang singkat, dan ada di antaranya memiliki beberapa fase dalam tahapan perkembangannya: telur, ulat, kepompong dan serangga dewasa.


Tampilan morfologis serangga tidak kalah menarik dengan kelompok satwa lain, baik bentuk fisiologinya maupun warna-warninya. Memang, cukup banyak juga yang berpenampilan “mengerikan” seperti seekor monster mini, dan menimbulkan rasa ngeri atau jijik pada sebagian orang. Tetapi sebenarnya, tampilan seperti itu bukanlah buruk, melainkan unik. Beberapa jenis serangga juga memiliki organ perlindungan diri, dalam bentuk bisa. Lebah, labah-labah, kalajengking dan banyak jenis lainnya, dapat membuat seseorang keracunan kalau tersengat atau tergigit, dan bahkan ada yang bisanya dapat mematikan.


Serangga merupakan sumber makanan yang terpenting dan potensial bagi banyak jenis satwa lainnya, semisal kelompok mamalia seperti kelelawar, cerurut, dan lainnya; kelompok burung, seperti paruhkatak, cabak, dan lainnya; dari kelompok reptil seperti cecak, kadal, dan lainnya; dari kelompok amfibia seperti katak, bangkong, dan lainnya; dari kelompok ikan seperti arowana, ikan pemanah, kepala timah, dan lainnya – dan kelompok manusia, yang makan belalang, telur tawon, dan lainnya. Tentunya, serangga juga tidak sedikit yang memangsa sesama serangga.


Kontribusi ekonomis serangga terhadap manusia sebenarnya telah berlangsung sejak lama, seperti pemanfaatan lebah madu untuk mendapatkan nectar, yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, dan bahkan sekarang lebah madu ini telah dibudidayakan. Jengkerik, dimanfaatkan sebagai pakan ikan dan burung; sedangkan kupu-kupu sutra (Bombix sp.) sudah lama menjadi komoditi, karena serat ulatnya yang bermanfaat sebagai bahan untuk kain sutra yang bermutu.


Akibat eksploatasi berbagai sumber daya alam, kerusakan habitat, dan sebagainya, saat ini beberapa jenis serangga telah mulai langka dan terancam punah. Beberapa jenis serangga, seperti kupu-kupu sangat intensif dieksploatasi, untuk dijual sebagai cinderamata, atau beberapa jenis kumbang yang unik, yang ditangkap dan dijadikan hiasan permata pada cincin atau kalung.


Beberapa jenis serangga memang memiliki potensi sebagai inang atau vektor penyakit, seperti nyamuk yang merupakan penyebab malaria dan DBD. Lalat dan kerabatnya, menjadi vektor penyakit kolera dan disentri,. Kutu, di kepala dan di badan, merupakan hamah tubuh yang cukup mengganggu.


Selain itu, beberapa jenis serangga juga potensial sebagai hama, terutama untuk pertanian. Wereng, belalang, kutu loncat, adalah jenis-jenis serangga yang popular sebagai hama. Kumbang merupakan penggerek daun yang efektif, pelubang kayu balok dan papan, serta kecoak yang selalu mengganggu di lemari makan.


Namun terlepas dari semua “kekurangan” serangga, mereka punya jauh lebih banyak kelebihan dan potensi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, dengan memahami serangga secara lebih universal, terutama perannya dalam sistem ekologi, maka serangga merupak aset yang harus dijaga kelestariannya. Sebagai sumberdaya plasmanutfah, serangga memiliki potensi untuk dikembangkan terus di dalam mendukung kepentingan hidup manusia. Selama sebuah sumber cadangan genetika masih kita miliki, maka akan selalu tersedia alternatif untuk kemanfaatannya di masa depan. Karena itulah, kita sudah selayaknya memberi tempat hidup yang patut bagi serangga, bukan memusuhinya, melainkan mengakrabi dan mengendalikannya. Serangga, adalah penguasa bumi. Karena tanpa serangga, kita tidak tahu akan jadi apa bumi ini. (ais)

1 komentar: